Cerpen : MENDUNG MASIH BERGELAYUT | Munkhayati
“MENDUNG MASIH
BERGELAYUT”
Oleh : Munkhayati
Biasanya kalau hari pasaran Senin
dan Kamis, Manisih berangkat ke pasar lebih pagi dibandingkan hari-hari yang
lain. Malam sebelum tidur menyempatkan
diri menata semua dagangan sembakonya di colt bak milik suaminya yang sudah
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga persis seperti warung. Akhir-akhir ini memang banyak kendaraan yang
dimodifikasi sesuai kebutuhan pemiliknya, misalnya warung. Apalagi Tarno, suami Manisih sudah puluhan
tahun kerja dengan membuka jasa bengkel motor dan mobil. Jadi kalau urusan memodifikasi kendaraan
mudah sekali. Mereka berdua menikah di
saat masih usia sekolah, saat itu Manisih kelas 2 SMK dan Tarno lulus SMK satu
tahun sebelumnya. Hampir setiap hari
Manisih menyambangi rumah Tarno bahkan kadang hingga sore hari, karena rumah
mereka cukup berdekatan yaitu tetangga desa.
Atas kesepakatan pihak orangtua Manisih dan Tarno, akhirnya mereka
dinikahkan, dan Manisih meninggalkan bangku sekolah sebelum mendapatkan tanda
kelulusan. Keluarga muda ini kemudian
pergi merantau ke Sulawesi ikut saudara dari kerabatnya Tarno yang memiliki
usaha perbengkelan. Delapan tahun mereka
merantau kemudian berniat pulang kampung dan tidak merantau lagi karena
bapaknya Tarno sudah meninggal dan di rumah tinggal ibunya saja. Saat itu mereka sudah memiliki dua anak
laki-laki yang diberi nama Danang dan Dirgo.
Kini Danang sudah duduk di
bangku SLA kelas X, dua adiknya laki-laki semua, Dirgo kelas VIII SMP serta si
bungsu Dinar kelas V SD. Menurut pandangan
para tetangga kehidupan rumah tangga mereka lumayan harmonis, masalah
perekonomian juga tidak kekurangan bahkan berlebih karena keduanya orang yang
ulet dalam bekerja. Tarno memiliki
bengkel yang mempekerjakan tiga orang untuk membantunya, kadang juga dia
sendiri mendapat order jasa jual beli motor atau mobil sekenan. Sedangkan
Manisih dagang sembako di pasar tiap pagi dari selepas subuh hingga pukul 09.00
WIB yang kemudian dilanjutkan di rumah karena sepetak kamar depan sudah dijadikan
warung.
“Praang……!” Terdengar suara
barang pecah belah jatuh dengan ditekan atau sengaja dibanting. Tergopoh-gopoh Manisih menuju dapur, melihat suaminya marah-marah dan membanting
gelas besar berisi air kopi yang belum
lama ia buat.
“Bertahun-tahun
bikin kopi tidak apal takeran gula dan kopinya, kamu sengaja kopi tok?”semprot
Tarno demi melihat Manisih melongok ke arahnya.
Manisih
baru ingat tadi sewaktu membuat kopi, memang belum diberi gula karena buru-buru
ada orang membeli keperluan dapur kemudian si bungsu menangis minta dibantu
membuat pekerjaan tangan tugas dari sekolah.
“Aduh…maaf
mas tadi lupa karena ada orang membeli buru-buru…maaf,”jawab Manisih.
“Selalu
begitu alasan lupa, ada yang beli…anak nangis terus…terus begitu alasan!”
“Wuehh…wueh…apa
ini sayur basi, apa sengaja ngeracuni wong…hah?” Tarno bersungut-sungut. Tiba-tiba terdengar suara,
“Klomprangg….”
Sayur lodeh yang disiapkannya dibuang di lantai bersama mangkoknya,
kemudian masih sambil bersungut-sungut Tarno keluar meninggalkan rumah dengan
motor beat merah yang biasa dipakai Danang untuk membantu membawa barang dagangan ibunya jika bapaknya tidak
bisa mengantarnya ke pasar.
Manisih
membersihkan sisa sayur dan pecahan kaca bekas gelas dan mangkok di lantai
sambil sesekali menyeka air mata jangan sampai anaknya-anaknya tahu jika
menangis. Semakin hari sikap perilaku
Tarno menurut dirinya makin tidak karuan dan menjadi-jadi meluapkan emosi pada
dirinya. Bahkan kadang berani melakukan
kekerasan, seperti menampar.
Beberapa waktu yang lalu setelah
selesai berdagang, seperti biasanya pagi pukul sembilanan pasar sudah mulai
sepi, Manisih mengemasi dagangannya.
Hari itu dia berdagang tidak
menggunakan colt baknya, tapi cukup digelar di atas terpal plastik, karena tadi
pagi diantar oleh Danang. Sementara
suaminya sejak subuh sudah pergi ke rumah seseorang yang akan menjual mobil
carry di daerah Magelang karena tiga hari yang lalu Wak Poniman memang pesan
untuknya dicarikan mobil sekenan yang masih agak lumayan untuk angkut-angkut
barang dagangan ke pasar. Suasana gerimis
yang sedari tadi hanya rintik-rintik semakin lama membesar dan berubah menjadi
hujan deras. Manisih dengan cekatan
memasukan semua dagangannya ke dalam kardus dan karung plastik, kemudian mengangkatnya
ke tempat yang terlindung dari hujan yaitu di dekat pos jaga pasar karena
memang tempat itu nyaman beratap, sambil menunggu Danang menjemput. Selain itu Manisih juga kenal baik dengan mas
Pono yang kebetulan sedang piket jaga di pos.
Mas Pono status masih bujangan tetapi sebenarnya sudah cukup umur hanya
mungkin belum menemukan perempuan yang cocok sebagai teman hidupnya,
sehingga dirinya masih sendiri hingga saat ini. Demi melihat Manisih mengangkati barang
dagangan sendiri dan berpacu dengan hujan yang makin deras, Pono tergerak untuk
membantunya.
“Ati-ati
mbak jalannya agak licin banyak sampah pasar!” teriak Pono mengingatkan Manisih
sambil membantu mengangkati kardus dan karung plastik berisi dagangan.
“Iya, ini
juga ati-ati,” jawabnya.
Saat
membawa kardus yang terakhir, kelihatannya Manisih masih kurang yakin
barangkali masih ada dagangannya yang tercecer belum terbawa sehingga menengok
ke belakang tidak ingat jika di dekatnya ada tiang listrik.
“Dugh…aduuh…!”
teriak Manisih.
Manisih
menabrak tiang telepon, tubuhnya oleng, mas Pono yang kebetulan berada di
sebelahnya spontan memegangi tapi karena badan Manisih yang lebih berisi, mas
Pono terdorong dan terduduk bersama Manisih dalam pelukannya.
Adegan itu
banyak yang tidak tahu karena orang-orang di sekitar sedang sibuk mengemasi
dagangannya sendiri-sendiri.
“Maaf
mbak, aku nda sengaja,” ucap Pono tersipu.
“Nda
papa..,” jawab Manisih sambil mengusap-usap keningnya yang benjut. Kemudian mas Pono memberikan minyak kayu
putih kepada Manisih untuk mengobati keningnya..
Akhirnya
semua kardus bisa diteduhkan dekat pos pasar.
Ada beberapa pedagang dan pembeli yang juga berteduh di sana. Sambil menunggu hujan reda, Manisih ngobrol
dengan orang-orang di sekitar duduknya tak terkecuali mas Pono, cukup riuh
dengan gelak tawa.
Tiba-tiba
dari arah samping kiri Manisih, muncul Tarno.
Manisih sangat kaget karena biasanya jika Tarno menjemput colt baknya
mesti masuk ke komplek pasar tetapi kali ini tidak, ada apa pikirnya.
“Sudah
pulang mas, kok tumben coltnya nda masuk kesini?” tanya Manisih heran.
Tarno
hanya diam tidak menjawab, sengaja membiarkan istrinya dengan tanda tanya. Dia sengaja parkir di luar komplek pasar
karena tadi akan masuk tetapi terhalang oleh truk yang membawa material
bangunan dan membongkarnya disana. Sudah
agak lama komplek pasar tidak direnovasi, atap kios-kios banyak yang bocor,
ubin lantainya pecah atau lepas dari cor semennya sehingga terlihat
berlubang-lubang dan jika tidak hati-hati bisa tersandung atau terperosok.
“Kita pulang sekarang, cepet diberesi
kardus dan karung itu terus angkat ke colt!” perintah Tarno tanpa menghiraukan
pertanyaan istrinya.
“Tapi masih hujan mas?” jawab Manisih penuh keheranan karena hujan masih saja
mengguyur tetapi suaminya bersikeras pulang.
“Sudah nda
usah banyak omong, di dalam colt kan ga kehujanan!” potong Tarno dengan wajah
dingin.
Akhirnya
Manisih dengan Tarno mengangkati barang dagangannya dan menatanya di colt yang
kemudian ditutup dengan terpal plastik.
“Masih
hujan lo mas…,” ada suara yang ditujukan ke Tarno, tapi tetap saja menghidupkan
mesin colt nya dan bergerak untuk pulang.
Sepanjang perjalanan dari
komplek pasar hingga ke rumah yang ditempuh kurang lebih 15 menit saja, Tarno hanya
diam tanpa banyak bicara. Hal ini jelas
membuat Manisih semakin penasaran, apa gerangan yang terjadi pada suaminya
sekarang. Sesampainya di rumah, begitu
colt bak sudah sampai pelataran rumah tanpa menurunkan isinya, Tarno berteriak
ke arah Manisih,
“Cepat
keluar,…dasar pelacur…!”
Kemudian
tangan Manisih dipegang dengan kasar keluar colt oleh suaminya. Di dalam rumah Tarno meluapkan amarahnya,
istrinya itu dituding telah selingkuh dengan Pono si tukang jaga pos pasar. Dia
sengaja memanfaatkan kesempatan dagang untuk main mata, apalagi ketika tidak
ditunggui dirinya seperti hari ini, Manisih sengaja bergenit ria bersama si
bujang lapuk Pono. Rupanya adegan
Manisih jatuh terduduk di pelukan mas Pono sempat diketahui oleh Tarno. Ia pun tidak
segan-segan melontarkan kata-kata kasar seperti binatang sambil menjambak
rambut dan menampar Manisih.
Semakin hari sikap Tarno semakin
memburuk, apalagi jika ada kesalahan Manisih meskipun sedikit sudah menyulut
api emosi suaminya. Jangankan jelas kesalahan
kadang tidak ada yang salah saja dicari-cari salahnya. Hal ini membuat Manisih tidak tahan kemudian
memilih keputusan untuk sementara tinggal di rumah ibunya yang hanya hidup
berdua dengan mbak Warni mbakyunya nomer dua yang sudah janda. Dulu mbak Warni pernah menikah, kemudian
suaminya meninggal dan belum dikaruniai anak.
Setelah menjanda kemudian pulang ke rumah orangtuanya yang hanya
sendirian juga. Keputusan Manisih untuk
tinggal di rumah orangtua sebenarnya sudah lama disarankan oleh kang Warto,
yaitu kakaknya yang nomer tiga, tetapi selalu ditolak dirinya karena masih ada
harapan sikap suaminya dapat kembali baik, tetapi kenyataannya malah
sebaliknya. Anak Manisih yang ikut
sementara tinggal di rumah neneknya hanya yang kecil tetapi kadang-kadang Dinar
juga ikut Tarno kumpul bareng kedua kakaknya.
Semenjak kepergian Manisih ke
rumah ibunya, Tarno di rumah merangkap tugas sebagai ayah dan ibu bagi Danang
dan Dirgo. Jika pagi dirinya menanak
nasi dan membuat lauk, untuk sayur dia tidak begitu paham dan lebih memilih
untuk membeli sayur di warung dekat rumah atau bengkel. Kemudian dia akan mencuci pakaian sedangkan
Danang dan Dirgo kalau hatinya sedang bombong akan membantu bapaknya menyapu
atau mencuci piring. Hari-hari
dilaluinya bersama kedua anaknya, Dinar kadang datang dan bermain. Dua minggu Manisih sudah meninggalkan rumah,
Tarno mencoba untuk menjenguk mertuanya sekaligus mengajak istrinya
pulang. Tetapi yang didapatkan Tarno
bukan Manisih pulang, malah keadaan bertambah ruwet. Mbak Warni membela sikap Manisih yang
bersikukuh tidak akan pulang. Tarno
kembali ke rumah dengan perasaan makin dongkol. Minggu berganti minggu, tidak terasa sudah
sebulan ia jalani sebagai orangtua
tunggal dilaluinya tanpa ada keinginan untuk memgajak lagi Manisih pulang. Beberapa teman dan tetangga menyarankan
dirinya untuk segera menjemput istri di rumah mertuanya.
Sebulan lebih tiga hari, Tarno dengan
pertimbangan yang matang ia mencoba berbaik hati ke rumah mertua lagi untuk
menjemput Manisih. Saat di sana ternyata
diam-diam Manisih menghubungi Warto untuk datang karena suaminya menjemput
pulang, akhirnya Tarno menjadi bulan-bulanan.
Banyak kalimat-kalimat pedas yang harus diterima dirinya. Tarno dianggap kakak iparnya sebagai suami
yang tidak becus mendidik istri, tidak pernah memberikan nafkah sehingga
terpaksa Manisih mencari nafkah sendiri, Warto membeberkan kesalahan-kesalahan
Tarno bahkan mengungkit masa lalunya, dia dianggap sebagai perusak masa depan Manisih
sehingga dulu tidak lulus sekolahnya dan sekarang hanya kerja dagang sembako. Demi mendengar masa lalunya diungkit, Tarno
sangat sakit harga dirinya diinjak seperti ini, kemudian dirinya maju selangkah
menjotos kepala Warto yang tidak sempat mengelak, keduanya terlibat adu jotos
beberapa saat. Manisih, mbak Warni dan
ibunya bertangisan, berteriak-teriak agar perkelahian untuk dihentikan. Sejak saat itu Tarno tidak pernah lagi
menjemput istrinya untuk pulang karena kakak-kakak ipar sudah menganggap
dirinya laki-laki tidak berguna, hingga saat ini sudah setahun pisah rumah,
sebenarnya dirinya masih menginginkan Manisih untuk kembali padanya.
Suatu hari Tarno mendengar kabar
burung, bahwa Manisih ada hubungan khusus dengan seorang laki-laki, seorang
duda yang memiliki usaha rumah makan.
Dia adalah pelanggannya Warto, biasa membeli stok ayam ternaknya. Di rumah Warto mengelola usaha beberapa
kandang ayam pedaging, yang dibantu dua orang karyawan dan Manisih. Selama tinggal di rumah ibunya Manisih sering
membantu usaha kakaknya ini yang kemudian dirinya akan diberi upah seperti karyawan
yang lain. Di tempat inilah yang
kemudian mempertemukan Manisih dengan Haji Imron yang berstatus duda tanpa
anak. Warto sangat getol menjadi
perantara agar keduanya menjalin hubungan.
Pikirnya inilah kesempatan untuk membahagiakan adiknya yang sekian tahun
sudah menderita karena ulahnya Tarno, suami yang tidak bisa diharapkan
lagi. Rumah Haji Imron berbeda kecamatan
dengan Manisih. Belum terlalu tua umur
Haji Imron mungkin delapan hingga sepuluh tahun lebih tua dari umurnya. Di rumah hidup dengan kakak perempuannya yang
janda dan bik Inah yang setia mengurus semua keperluan rumah.
“Tar…aku mau ngomong, adiku minta dicerai
dari kamu, toh selama ini kamu nda memberi nafkah kan,” pinta Warto suatu saat
bertandang ke bengkel.
“Yang jadi istriku itu Manisih,
biarkan dia ngomong sendiri,” jawab Tarno agak ketus.
Ternyata
benar, tiga hari setelah Warto berbicara seperti itu, Manisih datang ke bengkel
dan menyampaikan keinginannya untuk pisah.
Banyak alasan yang diungkapkannya saat meminta pisahan, Tarno selama ini
jarang memberikan nafkah bahkan terakhir-terakhir tidak pernah sama sekali, dia juga sering melakukan KDRT sehingga
dirinya tidak tahan. Dulu sewaktu ketiga
anaknya masih kecil, dirinya minta cerai mungkin masih merasa kasihan dengan
anak-anaknya. Sekarang anaknya sudah
besar dan dianggapnya sudah memahami dan mampu menerima kenyataan jika kedua
orangtuanya terpaksa berpisah. Tarno menanggapi
permintaan istrinya dengan agak sewot.
“Aku tidak
akan menceraikanmu, silahkan kalau kamu sendiri yang mengajukan!” jawabnya meninggi.
Keinginan Manisih untuk berpisah
sangat didukung oleh Warto yang sudah mantap menjodohkan adiknya dengan Haji
Imron, ini untuk melancarkan pasokan ayam pedaging miliknya ke beberapa rumah
makan milik juragan itu. Tipe orang
seperti ini yang diharapkan Warto menjadi suami untuk Manisih, yang
sewaktu-waktu bisa sebagai cadangan pinjaman modal usaha yang juga didukung mbak
Warni, sementara ibu mereka tidak tahu karena kondisinya sudah tua dan pikun. Manisih ternyata sungguh-sungguh ingin
pisahan dengan Warto, terbukti Manisih gugat cerai, dua minggu berikutnya ada
undangan sidang di pengadilan agama untuk Tarno. Dirinya sudah bertekad tidak akan menceraikan
istrinya, seandainya istrinya sendiri yang menginginkan berarti pihak istrinya
juga yang akan menyiapkan segala sesuatunya termasuk biaya. Tarno yakin
semuanya terjadi karena didalangi Warto yang sengaja mengambil keuntungan dari kemelut
rumah tangganya ini. Pada saat biduk
keluarganya sedang tersandung banyak tagihan barang dagangan, istrinya didukung
untuk pisah darinya, Tarno sendiri orang yang pencemburu, mudah terhasut oleh
omongan orang jika istrinya selingkuh dan lebih parah lagi dia juga mudah
sekali mengatakan cerai pada istrinya meskipun hanya sebagai gertakan
saja. Namun pada saat istrinya gugat pegat
dia bersikeras tidak akan menceraikan.
“Hehh…ngalamun,
awas bautnya bisa ketelan lo,” ledek Sriyatun yang sedari tadi menunggu motor
matic miliknya selesai diservice.
“Eh…ya
ngga lah mosok ketelan,” jawab Tarno sedikit tersipu karena ketahuan memang
sedang melamun.
“Besok kan
minggu, ono acara nda?” lanjutnya.
“Nda sih….lagi
judeg po?”
“Iya…pengin
seperti orang kantoran kalau minggu dan tanggal merah refreshing opo healing ngono lo,” jawab Tarno sambil tersenyum ke arah
Sriyatun dengan pandangan mata mengharap jawaban.
Tarno
sudah agak lama kenal dengan Sriyatun, seorang gadis yang berprofesi karyawan
di salah satu BUMN, dia pelanggan bengkelnya mulai dari service mesin, ganti
oli, ganti onderdil dan terakhir tukar tambah motor miliknya yang
sekarang. Mereka sudah akrab kadang juga
sengaja jalan-jalan berdua, jika dalam kejenuhan kerja. Hubungan keduanya sudah diketahui oleh
Danang, sebagai seorang remaja yang beranjak dewasa Danang memaklumi jika
selama ini bapaknya kesepian, butuh teman untuk saling cerita, sehingga dia
tidak mempedulikannya. Seandainya toh
bapaknya akan menikah lagi, Danang tidak akan mencegah asalkan ibu kandungnya
tidak disakiti. Meskipun sehari-harinya
Danang hidup bersama dengan bapaknya tetapi tidak akan rela jika ibunya
disakiti. Sebenarnya Danang bingung juga
dengan hubungan antara kedua orangtuanya.
Mereka sudah pisah rumah tahunan, ibunya berniat menikah lagi dengan
Haji Imron, sudah beberapa kali sidang cerai tetapi belum selesai juga karena
bapaknya tidak akan menceraikannya, sementara bapaknya sekarang menjalin
hubungan asmara dengan perempuan lain.
Hari Minggu Tarno dan Sriyatun
jadi jalan-jalan dengan tujuan kota gudeg Jogyakarta. Karena merasa pikirannya sedang kalut mereka
sepakat mendinginkannya di Kaliadem yang bernuansa khas udara pegunungan dengan
hawa sejuk, sepi. Di tempat ini juga
Tarno pernah menyatakan kekagumannya pada Sriyatun. Hari ini berarti yang ketiga kalinya mereka
mengunjungi destinasi wisata Kaliadem.
Tarno sebenarnya tidak sungguh-sungguh mencintai Sriyatun hanya pelampiasan
emosi rasa irinya dengan Manisih yang
akan segera menikah dengan juragan warung makan yang menurutnya lebih tinggi
derajatnya dan tajir. Tarno berumur 54
tahun masih terlihat muda dan memiliki wajah yang agak lumayan, kulit putih
bersih dengan kumis yang tidak terlalu tebal, sehingga kalau sekedar mencari
perempuan untuk mengobrol sangatlah mudah.
Kemudian datanglah Sriyatun yang kebetulan juga masih sendirian, mau
menerima dirinya, calon duda dengan tiga anak.
Sriyatun sudah siap jika diperistri Tarno asalkan bisa menerima apa
adanya juga mengingat umurnya sekarang sudah menginjak 38 tahun, namun Tarno
masih menunda-nunda karena memang tidak ada perasaan cinta. Jika dibandingkan segi wajah, memang Sriyatun
kalah dengan Manisih, meskipun tiap hari kerja kasar tetapi terlihat manis dan
luwes. Pernah suatu kali Sriyatun
mendesak Tarno tentang kejelasan hubungannnya, tetapi jawaban dari Tarno, masih
menunggu karena proses cerai dengan istri yang terdahulu belum selesai.
Siang ini Sriyatun niatnya sudah
bulat menemui Tarno, untuk memberitahu keadaan ibunya yang sakit makin parah
dan terus mendesaknya sebagai anak bungsu agar segera menikah. Karena setiap
Jumat bengkel Tarno tutup Sriyatun sengaja ingin bertemu Tarno di
sini. Kemudian Sriyatun menyampaikan
maksudnya, Tarno belum bisa memberikan kepastian hubungan dengan dirinya dan
berharap agar Sriyatun bisa bersabar. Saat
malam sendirian di rumah, Tarno menimbang-nimbang kembali pertemuannya siang
tadi karena diberikan waktu berpikir seminggu.
Seandainya harus menikahi Sriyatun, Tarno merasa tidak cinta tetapi
waktu itu terjalin komunikasi karena butuh teman untuk didengarkan keluh
kesahnya. Jika memilih putus, Tarno
merasa kasihan dan juga harus mengembalikan pinjaman uang yang selama ini dia terima. Malam makin sunyi tak juga ditemukan jawaban keputusan yang
dirasa tepat, ia terus saja mencari jawaban itu terus hingga larut dan terbawa ke
alam mimpi di mebel panjang ruang tamu dengan duduk setengah rebahan.
Sabtu
sore saat Tarno masih di teras rumah barusaja pulang dari bengkel, kebetulan
berpapasan dengan Dirgo yang membawa tas ransel sekolah, kelihatannya hendak
bepergian.
“Lo mau
kemana, kok bawa tas segala?” tanya Tarno pada anak keduanya ini.
“Mau
nginep di rumah mamak, mumpung besok libur,….pak minta uangnya,“ jawab Dirgo
sambil menadahkan tangan.
“Lo baru
tiga hari yang lalu diberi uang apa sudah habis, sekarang minta lagi?”
tanya Tarno lagi dengan nada setengah keheranan.
“Ya sudah
habis makanya sekarang minta, ngasih
duitnya sekalian saja pak buat beberapa hari, seminggu kek jadi nda bolak balik
minta,” pinta Dirgo.
Tarno
malas debat, badan juga sudah lelah akhirnya mengulurkan dua lembar uang
seratusan ribu. Anaknya yang ini memang agak boros, sering kali ijin menginap
di rumah nenek sejak mamaknya tinggal di sana dan mesti minta uang untuk jajan.
Hari Senin siang saat Tarno
berada di bengkel. Danang yang barusaja pulang untuk mengambil onderdil bengkel
di rumah, kebetulan ada tamu yang datang.
Dua orang yang mengaku sebagai gurunya Dirgo, mengatakan ingin bertemu
dengan orangtuanya. Sementara dua orang
tamu di rumah ditemani Wak Joyo tetangga sebelah, Danang ke bengkel menjemput
bapaknya. Tarno kaget dengan kedatangan
gurunya Dirgo ini yang menanyakan kondisi anaknya, karena hari ini ternyata
tidak berangkat sekolah tanpa keterangan.
Informasi lain yang disampaikan yaitu bahwa Dirgo akhir-akhir ini sering
tidak masuk sekolah tanpa keterangan atau alpa, padahal setahu dirinya
berangkat terus. Tarno kemudian
menelepon Danang untuk menengok adiknya di rumah Manisih, barangkali sakit
tetapi lupa ijin ke sekolah. Sungguh
kaget Tarno mendengar berita dari Danang kalau Dirgo tidak menginap di rumah
ibunya. Adiknya ini menginap di rumah
ibunya ternyata baru satu kali waktu ijin pertama dan setelah dicek benar-benar
ada di sana. Setelah itu beberapa kali
pamit menginap tidak pernah dicek lagi, dan anehnya setiap kali pamitan mesti
minta uang jajan yang lebih.
“Kamu
mesti kan yang membuat masalah tambah ruwet dengan menyembunyikan Dirgo, terus
aku bingung, terus aku menceraikanmu?” tuduh Tarno pada Manisih, sengaja
menemui istrinya ini di rumah mertua.
“Mas Tarno
sendiri yang tidak becus ngurus anak, pokoknya aku akan nuntut kalau Dirgo
kenapa-kenapa!” Manisih membalas tuduhan suaminya.
Suami
istri ini terlibat adu mulut saling menuduh dan menyalahkan dengan belum
jelasnya keberadaan anak kedua mereka.
Dengan perasaan masih jengkel
bercampur bingung Tarno pulang, kemudian di rumah bersama Danang menghubungi
beberapa teman Dirgo baik teman sekolah maupun bermain. Dari teman bermainnya, didapat informasi
kalau kemungkinan Dirgo dari Sabtu sore ikut rombongan anak punk. Teman-teman sekolahnya yang dihubungi
juga mengatakan seperti itu, karena Dirgo sering tidak masuk sekolah kadang
cerita kalau barusaja menemui komunitas bebasnya. Dirgo kenal dengan anak punk sudah
agak lama dan jika dihitung waktunya ternyata hampir sama dengan lamanya Tarno
pisah rumah dengan Manisih, istrinya.
Kebumen, awal
Maret 2023
Benjut =
bengkak
Pegat =
cerai
Judeg =
pusing karena banyak yang dipikirkan
Komentar
Posting Komentar