Cerpen : LELAKI BERMATA TEDUH | Munkhayati



Seperti biasanya pagi ini setelah mandi aku terus sarapan pagi.  Setelah beres semuanya kuperiksa isi tas termasuk buku-buku pelajaran, tugas guru, bekal makan minum,  kemudian  pamitan ke ibu dan berangkat sekolah.  Sudah tiga bulan ini entah mengapa aku selalu berdebar-debar menantikan jam berangkat sekolah  pagi termasuk sekarang, padahal jam keempat nanti ada mata pelajaran yang paling tidak kusukai, Kimia.  Pelajaran yang aku anggap aneh dan menyebalkan, karena yang dipelajari bahan-bahan kimia berbau kadang membuat perut mual, bisa juga menimbulkan bahaya ada yang iritasi, keracunan, gampang meledak.  Belum lagi menyelesaikan urusan reaksi kimia ngitung-ngitung banyaknya zat ataupun persamaan reaksinya, huh….sebel!  Ditambah gurunya bawel. lebih-lebih kalau sedang praktikum di laboratorium.  Sebentar-sebentar menyampaikan instruksi kayak info kereta mau lewat, ada saja yang disampaikan, cara kerja harus sesuai panduan kek, pengukuran yang teliti kek, larangan tidak boleh bercanda atau sekedar pengumuman agar anak-anak setelah praktikum untuk membersihkan tempat dan alat.  Di pintu dekat lab sudah ada info Tata Tertib Penggunaan Laboratorium sekalian dengan jadwalnya, kalau baca kan ya ngertilah.  Bener-bener karakter anak IPA sudah dilatih bertelinga tebal dan harus sabar dengan instruksi guru. 

Sambil melajukan motor matic kususuri jalanan yang belum begitu ramai, melintasi  beberapa kampung untuk menuju lokasi sekolah.  Mendekati kampung Opak kulambatkan laju matic, makin tidak sabar,   dadaku bergemuruh kencang seolah ada yang ingin tumpah.  Yah…di jalan ini, tepi kampung dekat komplek persawahan yang membelah kampung Opak, setiap pagi berangkat sekolah kutemukan sesuatu yang mungkin biasa bagi orang lain tapi sangat berkesan bagiku.  Seorang laki-laki paruh baya, tua belum muda juga tidak, mungkin sekitar umur 35 tahun tiap pagi dengan kesederhanaannya, bersama anak mungil dua setengah tahunan, mengasuhnya, mengajaknya jalan-jalan, bermain, menggendong dan menyuapinya makan.  Mereka terlihat akrab sekali sangat menikmati kebersamaannya seolah tak terpisahkan satu sama lain. Aku jadi iri kebahagiaan seperti itu, masa-masa kecil bersama ayah, jalan-jalan, disuapi, digendong serta disayang.  Tapi itu tidak akan pernah terjadi, jangankan untuk merasakan kasih sayang ayah, bertemu saja seolah hanya mimpi belaka.

Aku sempat bertanya dalam hati ada apa gerangan, kemana ibu anak itu?  Kenapa lelaki itu yang tiap pagi mengasuh anaknya?  Laki-laki itu ayahnyakah, anak mungil itu anaknyakah?  Ah peduli amat dengan keadaannya, tapi setiap aku lewat laki-laki itu selalu menyunggingkan senyum diantara tatap matanya, terkadang juga bersuara menyapa.  Aku mengangguk tanpa suara dan tatap mata itu … teduh seolah ingin meredam hatiku yang bertalu-talu menuntut untuk terus bertemu dan bertemu.  Lelaki itu berperawakan sedang, kulit coklat, penampilan sederhana tidak ada yang istimewa, tapi yang membuatku kecanduan melewati jalan itu adalah senyum ramah dan tatap matanya yang teduh  tidak dimiliki oleh teman-temanku laki-laki di sekolah ataupun di rumah.  Mengapa aku memikirkannya dan selalu ingin tahu apa yang sedang dilakukannya.  Pemandangan yang disuguhkan untukku setiap pagi cukup mengusik otak.  Dia bukan apa-apaku, aku tidak kenal dia, dan dia juga tidak kenal diriku bahkan wajahku pun dia belum pernah tahu secara jelas karena setiap kita bertemu, aku mesti sedang mengendarai motor pakai helm dan bermasker.

Seperti saat ini di penghujung jalan dan masuk kampung Opak yang sudah dititipkan sebagian rasaku di sana seolah magnet yang menarik butiran-butiran serbuk besi didekatnya saat praktikum fisika.  Tiba-tiba aku jadi teringat kalau jam setelah istirahat nanti mesti mengikuti remidi ulangan fisika.  Skor pemahamanku masih di bawah standar yaitu materi fluida.  Aku pikir sama sajalah fluida statis dan dinamis.  Yang dinamis meskipun bergerak bisa saja suatu saat  menjadi statis demikian juga yang statis karena  sebab tertentu berubah menjadi dinamis bahkan sangat hingga bergejolak.  Seperti hatiku sebelumnya yang statis setelah Bayu mencampakanku  setahun lalu karena tahu bahwa aku hanya anak seorang pembantu yang dinodai seorang majikan tidak berperikemanusiaan, mereguk kenikmatan tanpa mau bertanggungjawab atas yang sudah dilakukan.  Kisah merantau ibuku berakhir dengan meninggalkan kota untuk pulang kampung membawa serta diriku di rahimnya.  Kemudian dengan kasih merawatku hingga lahir serta membesarkan dalam asuhan meski tanpa pengakuan dari ayah sebagai panutan.  Sejak umur dua bulan  dalam rahim ibu hingga duduk di bangku SMU kelas duabelas, aku tidak pernah tahu kasih sayang ayah dan seperti siapa wajahnya.  Kadang kalau bercermin kutatap lekat wajah, bagian mana yang genetis dari ayah, mungkin hidung, mata, bibir, bentuk wajah….ah tidak tahu, aku juga tidak berani menanyakannya pada ibu takut melukai hatinya.  Hanya dialah yang aku punya sekarang karena kakek nenek sudah berpulang lama sebelum ibu  merantau, sedangkan saudara tidak ada.    Suatu ketika Bayu teman sekelas datang memberikan perhatian.  Aku tersanjung olehnya, sikap care-nya, lemah lembut dan melindungi yang membuat aku sempat luluh dan menyisihkan sudut hatiku untuknya, di samping bagi ibu.  Waktu terus berlalu, entah  tahu dari siapa akhirnya latar belakang keluarga dan statusku menjadi lampu merah hubungan ini bagi Bayu.  Ibu tidak tahu hal itu karena memang kami rahasiakan, teman-temanku juga tidak banyak yang tahu.  Ibu ingin agar selepas SMU aku bisa melanjutkan ke perguruan tinggi  agar kehidupanku kelak lebih baik darinya.  Karena hal inilah ibu tidak ingin ada hambatan dalam sekolahku termasuk larangan untuk menjalin hubungan dengan laki-laki. Sebaliknya ibu rela bersusah payah mencari nafkah untuk kehidupan kami dan cita-citaku. Di sisi lain Bayu menginginkan hubungan kami dikabarkan pada teman-teman bersamaan pengumuman kelulusan sebagai kejutan katanya.  Tapi yang terjadi memang sebuah kejutan untuku karena Bayu menyudahi kisah ini.

Semakin dekat jarakku dengan lelaki bermata teduh yang sedang asik bermain bersama si mungil, makin pelan laju maticku bahkan nyaris berhenti, tapi makin kencang degup jantung ini.  Setelah sekitar tiga langkah berjarak, dia lempar senyum ke arahku sesekali melirikan teduhnya mata karena sembari mengawasi si mungil.  “Sekolah ya….,” sapanya.  Aku hanya mengangguk  ingin sekali berhenti, turun dari matic dan bercengkerama dalam suasana keteduhan dan kedamaian yang ditawarkan.  Tepat di hadapnya kuberanikan diri balas melirik dari sudut mata, rambut lurus hitam berponi sedikit panjang, wajah oval, hidung lumayan mancung, dengan sapuan tipis kumis memanjang di atas bibirnya yang sering tersenyum ramah.  Oh my God…jantungku seperti berhenti seluruh tubuh serasa dingin.   Dalam benak  terlintas agar maticku mogok saja di sini jadi bisa berlama-lama menikmati momennya. Dengan perasaan berat aku  harus segera berlalu menjauh untuk melanjutkan perjalanan ke sekolah.  Lewat kaca spion si mata teduh masih dalam perhatianku, lengan jaket yang  mengembang kutepiskan, agar tidak menutupi sebagian kaca spion.  Aku baru menyadari di dekat roda depan matic tiba-tiba melintas seekor ular dan aku menjerit,  ….glubrak…….!  Keseimbangan matic hilang kemudian belok arah menabrak pagar jalan serta roboh bersama tubuhku.  Masih meringkuk bersama matic dengan tas gendong di punggung, mata kupejamkan sambil mengaduh minta tolong.  Dan aku tidak tahu karena detik berikutnya kurasakan ada sentuhan halus mengusap wajah.   Saat kubuka mata, ada tangan si mungil menyentuh pipiku duduk berdampingan lengkap dengan malaikatnya, si mata teduh.

 

Ambal,  awal April  2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : MENDUNG MASIH BERGELAYUT | Munkhayati

Cerpen : SECARIK KERTAS DENGAN SELARIK KALIMAT | Munkhayati