Cerpen : SAAT JAM ISTIRAHAT | Munkhayati
SAAT
JAM ISTIRAHAT
Oleh:
Munkhayati
Tengah
hari seperti ini memang cukup terik, matahari yang tepat di ubun-ubun serasa
menyengat memancarkan energinya untuk semua mahluk di muka bumi agar makin
semangat melakukan aktfitasnya. Waktu
jam istirahat kedua di sekolah memang agak lama jedanya kurang lebih satu jam
karena ada kegiatan sholat jamaah secara bergantian. Sesekali terdengar riuh anak-anak berbondong
menuju dan dari mushola untuk sholat, setelah tiba giliran waktu untuk mereka yang diumumkan lewat pengeras
suara oleh petugas. Ada juga kelompok
lain yang bercanda sambil minum dan makan bekal dari rumah atau yang tidak
sempat cukup membelinya di kantin sekolah,
Cuaca panas tak terasa karena terlibas oleh suka citanya menikmati jam istirahat
kedua setelah beberapa jam sebelumnya mengikuti tempaan ilmu oleh guru.
Aku
sengaja mengikuti jamaah Sholat Dhuhur nanti, tadi pagi sudah ada janji dengan seorang
siswa kelas IX untuk konseling di jam istirahat ini. Sepuluh menit sudah berlalu tetapi belum ada
tanda-tanda seseorang yang kutunggu datang.
Kutata lagi meja dari tumpukan buku dan kertas yang aku butuhkan saat
ini berisi catatan-catatan penting tentang latar belakang dan hasil konseling
sebelumnya, kursi siswa aku geser lebih menghadap ke meja persis di depanku,
untuk mengurangi hawa panas kipas angin kuhidupkan kecepatan maksimal.
Di
dalam hati, aku sangat bersyukur melihat Tono maupun beberapa temannya masih
mampu bertahan belajar hingga sekarang kelas IX dan hampir menamatkan bangku SMP
nya. Masih terngiang jelas dua tahun
lalu saat badai covid-19 melanda bangsa ini, semua sendi kehidupan termasuk
pendidikan nyaris lumpuh. Pembelajaran
daring yang dilaksanakan untuk
mengantisipasi keadaan darurat menyisakan banyak masalah. Guru kelabakan karena banyak siswanya yang
tidak aktif di kelas daring, para
orangtua menangis anak-anak memakai handphone yang harusnya untuk belajar malah
disalahgunakan. Fenomena lain yang
terjadi, anak malas dengan kegiatan sehari-hari, munculnya budaya mager,
anak menjadi kenal game online bahkan kecanduan hingga lupa dengan tugas-tugas
kesehariannya.
Dalam
situasi mencekam diteror wabah, mobilitas dibatasi bahkan masyarakat takut
keluar rumah dan bertemu dengan orang lain, tapi di sekolah kami. guru berbekal
niat yang tulus dan tetap patuh dengan protokol kesehatan mengadakan kunjungan
ke rumah beberapa siswa yang tidak aktif di kelas daring. Martono atau Tono adalah satu dari sekian
siswa yang nyaris putus sekolahnya karena kurang bisa beradaptasi dengan
pembelajaran daring. Pada kunjungan
pertama aku selaku guru pembimbing bersama walikelas tiba di rumah Tono,
disambut oleh ibunya sementara anak itu hanya mengurung diri dan tidak mau
keluar kamar. Dengan berurai air mata ibu
Tono menceritakan kondisi anaknya saat itu yang sering marah-marah tidak jelas jika
ditanya hanya diam, malas dengan aktifitas rumahnya, mandi dan makan sering
telat terkadang malah tidak. Setiap hari di kamar memainkan HP nya hingga larut
malam, kuota internetnya cepat sekali habis.
Awalnya ibu Tono mengira anaknya aktif di kelas daring, kemudian ada
teman sekelas yang juga tetangga sebelah rumah memberitahu jika Tono tidak
pernah muncul di kelas daring, diperkuat lagi dengan kedatangan kami yang
intinya ingin memastikan kondisi Tono mengapa jarang aktif dalam pembelajaran. Kami hanya terenyuh dan bincang-bincang
sembari memberikan motivasi pada keluarga ini, serta berharap keadaan tetap
baik-baik saja semua.
Selang dua pekan aku sengaja sendirian berkunjung yang kedua kalinya ke rumah Tono
karena belum ada tanda-tanda mengikuti kelas daring. Aku sangat khawatir dengan kondisi belajarnya
jika sampai gagal, mengingat Tono tergolong siswa yang berpotensi di bidang
akademik ataupun olahraganya terutama catur, karena saat SD pernah juara 1
tingkat kabupaten. Alhamdulillah, di
kunjungan ini aku bisa bertemu, meski belum banyak informasi yang bisa aku gali
karena Tono lebih banyak diam dengan
pandangan mata kosong.
“Nak…bu guru tahu jika
kamu tidak suka dan sedang berontak dengan keadaan yang seperti ini, semuanya
serba dibatasi dan daring, tapi percayalah keadaan akan segera membaik, kita
bisa sekolah lagi secara normal dan bertemu teman-teman di kelas,”jelasku pada
Tono yang hanya didengarkan saja.
“Tapi itu semua ada
syaratnya, kita harus sabar dan mengikuti aturan dari pemerintah…termasuk
belajarnya daring dulu hingga situasi aman baru boleh belajar yang tatap muka.”
“Ingat ya, pandemi ini
menimpa semua manusia di seluruh dunia, jadi Tono tidak boleh putus asa
kemudian pelarian ngegame tiap hari.
Pelarian seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah tapi malah
menambah masalah makin runyam.”
Aku seperti bicara
sendiri dijawab sendiri karena Tono tidak memberi tanggapan. Aku tidak peduli apakah dia menanggapi atau
tidak, masih saja aku nyerocos berbicara pada Tono karena aku yakin dia
mendengar.
“Eh bu guru ingat lo,…waktu
perkenalan di kelas daring kayaknya dulu pernah nulis cita-cita ingin menjadi
orang yang berguna, sebagai anak tunggal Tono berharap bisa membahagiakan
orangtua ya…khususnya ibu. Di rumah kan
hanya berdua dengan ibu, bapak sudah lama mendahului. Bu guru yakin Tono anak
yang baik dan akan membuat orangtuanya selalu bahagia, dengan belajar sungguh-sungguh.”
Sampai
di sini aku berbicara megap-megap, masker kubuka dan kuminum air mineral
yang sengaja dibawa dari rumah. Masa
pandemi seperti ini tidak ada suguh menyuguh makanan karena sebenarnya saling
berkunjung saja masih dilarang. Namun
mengunjungi siswa yang putus asa juga sifatnya urgent, yang penting
tetap menerapkan protokol kesehatan, pikirku.
Hampir setengah jam aku di rumah Tono, sebelum pamitan untuk kembali ke
sekolah, aku juga memberikan motivasi pada ibunya yang terus saja mengusap air
mata sangat berharap anaknya kembali aktif belajar.
Sepulang dari rumah Tono, masih kusempatkan menyambangi
rumah Adi yang juga kurang aktif di kelas daring. Alamat rumahnya lebih dekat, sehingga aku
memilih mengunjunginya terakhir. Dari
latar belakang keluarga, Adi adalah anak sulung dengan dua adik satu laki-laki
dan satu perempuan. Bapaknya hanya buruh
sedangkan ibunya tidak bekerja karena adik Adi masih kecil-kecil usia TK dan
belum sekolah sehingga praktis masih sangat memerlukan pengawasan orangtua. Akhirnya aku sampai juga di rumah Adi setelah
beberapa kali bertanya. Rumah yang
sangat sederhana tipe 6 x 8m, tembok setengah jadi tanpa lepo berada
diantara rumah lain yang cukup berdekatan dan tanpa halaman rumah karena di
depan rumah sudah digunakan untuk jalan atau lalu lintas umum. Kuketuk pintu, agak lama hanya terdengar
sahutan tangis anak kecil. Beberapa saat
pintu terbuka dan yang keluar adalah seorang perempuan yang belakangan
diketahui sebagai ibu Adi mengenakan daster lusuh sambil menggendong anak
kira-kira usia satu tahun. Aku masuk dan
dipersilahkan duduk di lantai plester bertikar
yang warnanya sudah tidak jelas. Kemudian
aku memperkenalkan diri sebagai guru pembimbing Adi serta menanyakan keadaannya. Adi masih tidur, padahal sudah hampir jam 11
siang. Karena tidak mau dibangunkan,
akhirnya aku masuk kamarnya yang berdekatan dengan ruang tamu hanya dibatasi
kain membentang di tali rafia bekas spanduk promo salah satu produk kartu handphone
(HP). Kupanggil dan kugoyang-goyangkan
badan Adi tetap tidak mau bangun, diam, tengkurap
menyembunyikan wajah.
Pelan,
aku bertanya mengapa Adi akhir-akhir ini kurang aktif di kelas daring, kemudian
ibunya menceritakan jika anaknya sehari-hari hanya tiduran dan rajin
menggunakan HP. Di rumah hanya ada satu HP,
kemarin untuk rebutan dengan sang adik yang ingin bermain, entah bagaimana
kejadiannya HP terjatuh dan rusak.
“Deneng saged Adi mboten sekolah
daring bu, ujar kulo aktip wong cepengan HP teras. Adine mawon ajeng ngampil kulo omei
mergane ngge sekolah Adi…lah kok malah
ngoten,” jawaban ibu Adi dengan logat Jawanya.
“Berarti kulo dilomboni
Adi nopo nggih, wingi-wingi ngantos wengi terus cepengan HP anu kepripun
niku? Nek sanjang kuotane telas langsung
kulo ken tumbas wong ngge sekolah, wingi malah kulo dolaken beras bu ngge tumbas
kuota ujar kulo men tetep saged sekolah daring.”
“Tapi seniki kulo mbasan
ngerti nek Adi nglomboni malah keleresan HP ne rusak, mangkane niku HP dereng
lunas. Niki ngge ukuman merga wani
nglomboni tiyang sepah,” ibu Adi terus-terusan meluapkan kecewanya atas tingkah
laku anaknya.
Aku berusaha menjelaskan permasalahan dan menghiburnya,
untuk sementara aku akan bekerjasama dengan walikelas berusaha mengantar
tugas-tugas sekolah ke rumah tiga hari sekali, sekaligus melakukan pemantauan. Meskipun lingkungan rumah Adi agak padat
penghuni, tetapi tidak ada anak yang
sekelas dengan dirinya jadi tidak bisa belajar bersama. “Adi…tiga hari lagi ibu guru atau pak guru
akan datang lagi untuk memastikan belajarmu,…tetap semangat belajar ya nak…,”
pintaku pada Adi yang masih saja tiduran dengan kepala bersembunyi di bawah
bantal.
“Tok…tok…tok…Assalamualaikum
ibu,” terdengar suara ketuk pintu dan salam dari luar pintu yang mengagetkanku
dari lamunan.
“Waalaikumsalam,…oh Tono
silahkan masuk, ibu kira kamu lupa janji konseling hari ini.”
“Tidak lupa bu, cuma tadi
saya Sholat Dhuhur dulu.”
“Ya sudah nda apa-apa,
ayo silahkan duduk,” pintaku menyilahkan Tono duduk di kursi yang sudah
kusiapkan sedari tadi.
Pada
konseling kali ini tujuanku ingin tahu sebenarnya Tono akan melanjutkan studi
kemana. Sebagai guru pembimbing aku
memiliki kewajiban memastikan siswa kelas IX jelas melanjutkan sekolahnya. Seandainya ada yang terkendala sekolah
lanjutan maka segera dicarikan solusi terbaik masa depannya. Untuk menuntaskan wajar 12 tahun jangan
sampai mereka berhenti hanya dengan menggenggam ijazah bangku putih biru saja,
Ambal,
April 2023
Mager = malas gerak
Ngegame = bermain game
Megap-megap = nafas tersengal-sengal
Lepo = dilapisi semen
Urgent = gawat, darurat
Komentar
Posting Komentar